Jakarta (ANTARA) - Pameran “Per’EMPU’an” yang diusung oleh Fakultas Desain dan Seni Kreatif Universitas Mercu Buana menyoroti peran perempuan sebagai penjaga pengetahuan bangsa.

“Ruang pribadi bagi perempuan bukan sekadar tempat beristirahat, tetapi tempat membangun dirinya sebagai subjek yang berdaulat," kata Perupa senior Irma Hardisurya dalam keterangan resminya di Jakarta, Rabu.

Pameran yang dibuka pada Sabtu (15/11) di Amuya Gallery, Kemayoran, Jakarta itu menghadirkan penafsiran ulang atas makna empu sebagai simbol perempuan Nusantara.

Gelar empu dalam tradisi Jawa tidak hanya merujuk pada ahli pembuat keris atau manuskrip, tetapi juga pada sosok yang dihormati karena keluasan ilmu, kearifan spiritual, dan ketajaman rasa.

Pameran ini menghidupkan kembali konsep tersebut untuk menggambarkan perempuan masa kini sebagai penjaga pengetahuan, pencipta makna, dan pemikul peradaban.

Makna empu menjadi pijakan tematik bagi para perupa dalam memotret perempuan sebagai figur yang bekerja dalam senyap, tetapi menentukan arah budaya.

Menurutnya, kurator menempatkan gagasan perempuan sebagai empu kontemporerbukan sekadar simbol ketekunan, tetapi juga representasi agensi, kepakaran, dan kemampuan mencipta dalam berbagai medium.

Dalam pameran itu, ia memamerkan karyanya yang berjudul Kursiku, Singgasanaku(2023). Karya itu diposisikan sebagai penanda bahwa ruang personal perempuan merupakan wilayah otonomi yang memberi legitimasi pada kepakaran dan kebijaksanaan, dua kualitas yang sejak dulu dilekatkan pada seorang empu.

Karya lain yang ditampilkan di antaranya milik Rika Hindraruminggar melalui dokumenter Peramu Jamu”, yang menampilkan praktik meracik jamu sebagai ritual yang diwariskan turun-temurun.

“Jamu adalah ilmu yang diwariskan dari tangan ke tangan. Perempuan menjaga kesinambungan itu,” kata Rika.

Sedangkan Wilsa Pratiwi, lewat ilustrasi makanan tradisional dalam “Dari Dapur ke Budaya”, menegaskan peran dapur sebagai ruang tempat perempuan selama ini membangun dan melestarikan identitas kuliner Nusantara.

Dalam karya Mira Zulia Suriastuti, “Leluri Rupa Perempuan”, kayu menjadi medium yang merekam gerakan tangan perempuan, seolah membuktikan bahwa jejak perempuan tersimpan dalam benda-benda sehari-hari.

Adapun Fatimah Yasmin Hasni melalui “Secarik Kenangan, Aroma Kain” menggunakan aroma kain dan simbol gawangan ukir untuk menunjukkan bagaimana warisan batik perlahan memudar tanpa peran aktif perempuan sebagai pewaris budaya.

Sementara itu, penafsiran kontemporer tentang empu hadir melalui eksplorasi identitas, tubuh, dan kebebasan. Anggi Dwi Astuti memadukan tradisi dan mode adibusana sebagai pernyataan bahwa perempuan masa kini menegosiasikan makna dirinya melalui medium pakaian.

Nina Maftukha dengan patung biru kobalt berkepala ganda dan caping, mematahkan stereotip perempuan ideal, sebuah langkah kritis yang menunjukkan bahwa kepakaran perempuan tidak dapat dibatasi oleh tatapan luar.

Penutup pameran dihadirkan melalui video art “CINTA” karya Novena Ulita, yang menempatkan dapur sebagai locus of change, menunjukkan bahwa transformasi besar kerap berangkat dari tindakan kecil perempuan sehari-hari. https://www.antaranews.com/berita/5253229/pameran-seni-perempuan-soroti-peran-wanita-jaga-pengetahuan-bangsa