WARTAKOTALIVE.COM, JAKARTA - Mahasiswa Universitas Mercu Buana melakukan studi lapangan ke Pecinan Glodok, Jakarta Barat, Senin (18/11/2024).

Studi Lapangan ini merupakan bagian dari pemenuhan tugas mata kuliah Komunikasi Antar Budaya yang diampu Rosmawaty Hilderiah.

Pecinan Glodok dijadikan wisata sejarah hasil kolaborasi banyak etnis, seperti Tionghoa, Sunda, Betawi, hingga Jawa.

Pecinan Glodok menjadi pilihan wisata yang tepat untuk melakukan studi lapangan sebagai proses mahasiswa untuk belajar dan mengenal berbagai budaya.

Mahasiswa Universitas Mercu Buana diajak mengelilingi berbagai tempat bersejarah, mulai bangunan tua, tempat beribadah, dan tempat wisata kuliner. 

Berikut berbagai tempat yang dikunjungi Mahasiswa Universitas Mercu Buana di Pecinan Glodok:

Gedung Candra Naya

Gedung Candra Naya (Asosiasi Xin Ming) merupakan kediaman Xujin’an (Khouw Kim An) yang dikenal sebagai pimpinan dan pemuka komunitas keturunan Cina.

Xujin'an juga dikenal sebagai pengusaha terkenal dan pemegang saham Bank Batavia, serta bankir di kalangan masyarakat keturunan Cina.

Ia lahir 5 Juni 1879 di Batavia dan wafat pada 13 Februari 1945 di tahanan.

Setelah Perang Dunia II berakhir sekitar tahun 1946, berdirilah Asosiasi Xin Ming di gedung tersebut dengan tujuan utama membantu komunitas Cina menghadapi permasalahan dalam kehidupan mereka. 

Bangunan yang awalnya kediaman Xujin’an (Khouw Kim An) diubah menjadi pusat segala kegiatan asosiasi ini mulai pertemuan sosial, mendirikan klinik, tempat kegiatan berolahraga dan pusat pendidikan.

Di tahun 1965, gedung yang semula bernama Asosiasi Xin Ming mengganti namanya menjadi Gedung Candra Naya atas permintaan organisasi nasional persatuan etnis.

Vihara Dharma Bakti

Kim Tek Le atau yang biasa disebut dengan Vihara Dharma Bakti merupakan Vihara tertua di Jakarta selain Klenteng Ancol.

Klenteng ini pertama kali dibangun pada tahun 1650 dan diberi nama Kwan Im Teng.

Kata Kwan Im Teng kemudian diserap ke dalam bahasa Indonesia menjadi klenteng.

Pada tahun 1740, vihara ini sempat dibakar saat terjadi peristiwa Geger Pecinan dan dibangun kembali pada tahun 1755 oleh Kapten Oi Tjiek.

Kim Tek Le dapat diartikan sebagai kebajikan emas.

Banyak sekali patung yang merepresentasikan dewa-dewa yang terdapat di Vihara Dharma Bakti ini.

"Pecinan Glodok sengaja dibuat agar orang-orang keturunan Cina nggak kemana-mana," kata Greg, tour guide Pecinan Glodok.

"Saat pemberontakan yang dilakukan oleh orang keturunan Cina, Belanda dengan mudah menembakkan meriam ke Pecinan Glodok," lanjutnya.

Gereja Katolik St Maria De Fatima

Gereja Katolik St Maria De Fatima sudah ditetapkan sebagai cagar budaya.

Gaya bangunan ini desainnya mirip bangunan Candra Naya.

Di depan Gereja Katolik St Maria De Fatima terdapat lion statue.

Lion statue di sebelah kiri yang membawa anak merupakan patung singa perempuan, sedangkan lion statue yang membawa bola merupakan patung singa laki-laki.

Di atap gereja terdapat 2 huruf kanji yang melambangkan peaceful dan prosperity yang dibangun oleh keturunan Cina.

Sejarah awal gereja ini dibangun yakni agar orang katolik di Batavia memiliki tempat ibadah dimana mereka bebas berdoa.

Gereja ini memiliki nama lain yakni Gereja Toasebio (diambil dari kata Toase dan Bio atau pesan) artinya orang keturunan Cina ke Batavia untuk membawa pesan perdamaian. 

Terdapat Gua Maria di sebelah kanan gereja yang dilengkapi dengan patung Bunda Maria, Lusia, Yasinta, dan Fransisco yang sudah diberkati pada 25 Oktober 1992.

Gua Maria ini bisa digunakan untuk berdoa dan disediakan lilin juga di sebelah kanan Gua Maria.

Di sebelah gereja terdapat Lonceng Malaikat Tuhan.

"Lonceng biasanya dibunyikan jam enam pagi, duabelas siang, dan enam sore, hingga setiap lonceng dibunyikan, siswa di sekolah akan ikut berdoa," ujar Greg.

Klenteng Toasebio

Klenteng Hong San Miao atau Toasebio sudah berdiri jauh sebelum peristiwa geger pecinan pada tahun 1740.

Klenteng mulai dibangun tahun 1751 dengan pembuatan hiolo kotak di altar kongco Cheng Goan Cheng Kun hingga selesai di renovasi tahun 1754.

Selanjutnya, Kapitan Li Dai Dian dipilih menjadi ketua Klenteng Toasebio pada tahun 1819.

Ia digantikan Letnan Wang Feng Guan pada tahun 1839.

Perluasan wilayah Klenteng Toasebio ditandai dengan pembelian satu wilayah tanah yan didalamnya terdapat bangunan Klenteng Toasebio dari Bank Escompto yang dibeli Tan Hok tahun 1912.

Seiring berjalannya waktu, dibangunlah Yayasan Wihara Dharma Jaya Toasebio yang didirikan 9 orang.

Mereka adalah Ferdinand Kenchana Jaya, Husen Buntara Sjarifudin, Agustinawati S.A, Harjanto Widjaja, Husin Buntara Sjarifudin, Liaw Kiong Hoa, Mujadin Pangestu, Rachman Santosa dan Wong Sen Fie.

Ferdinand Kenchana Jaya sebagai ketua dewan kehormatan seumur hidup dan pengawas pada tahun 1983.

Tugasnya dilanjutkan Husen Buntara Sjarifudin.

Pada tahun 1983, Vent Kenchana Jaya menghibahkan tanah bangunan Klenteng Toasebio dan sekitarnya ke Yayasan Wihara Dharma Jaya Toasebio.

Banyak sekali lentera yang digunakan untuk berdoa kepada para dewa agar diberikan keselamatan serta kesejahteraan dalam hidup.

Proses belajar ini membantu mahasiswa Universitas Mercu Buana mengenal berbagai budaya di Pecinan Glodok, termasuk sejarah dan tradisi komunitas Cina, Kristen, dan Buddha.