
Mahasiswa Fakultas Ilmu Komunikasi (FIKOM) Universitas Mercu Buana baru-baru ini melaksanakan kegiatan studi lapangan ke kawasan Pecinan Glodok, Jakarta Barat, pada Senin, 18 November.
Kegiatan ini diselenggarakan sebagai bagian dari mata kuliah Komunikasi Antar Budaya, yang merupakan tugas besar kedua untuk para mahasiswa yang diampu oleh Ibu Rosmawaty Hilderiah, Dr. S.Sos., MT. Selain memenuhi tugas akademik, kegiatan ini juga memberi kesempatan bagi mahasiswa untuk melihat langsung jejak sejarah dan mengenal lebih dekat budaya Tionghoa yang kaya di kawasan tersebut.
Studi Lapangan ini memberikan pengalaman berharga yang tidak hanya sekadar wawasan baru, tetapi juga memungkinkan mahasiswa untuk bertatap muka dengan para pemandu wisata lokal, yang dikenal dengan sebutan Tour Guide Pecendongan.
Para mahasiswa diajak untuk mengunjungi berbagai tempat bersejarah yang menjadi saksi perjalanan panjang sejarah Tionghoa di Jakarta. Beberapa tempat yang dikunjungi antara lain Gedung Chandra Naya, Vihara Sila Amerta, Rumah Abu Loe, dan Vihara Dharma Jaya Toasebio.
Sejarah Gedung Chandra Naya/dokpri
Menyusuri Jejak Sejarah di Candra Naya
Perjalanan dimulai dengan mengunjungi Candra Naya, sebuah bangunan bersejarah yang menjadi simbol arsitektur peranakan Tionghoa di Glodok. Candra Naya, yang pada masa kolonial Belanda merupakan kediaman seorang mayor Tionghoa, kini berdiri kokoh sebagai saksi bisu perjalanan sejarah. Bangunan ini menghubungkan generasi masa lalu dengan masa kini, sekaligus menjadi pengingat akan pentingnya menjaga warisan budaya di tengah modernitas Jakarta.
Vihara Sia Amerta
Salah satu destinasi utama dalam studi lapangan ini adalah Vihara Sila Amerta yang didirikan pada tahun 1962. Vihara ini tidak hanya menjadi tempat peribadatan bagi umat Buddha, tetapi juga pusat kegiatan pendidikan dan sosial bagi komunitas Buddhis di wilayah Jakarta. Dikenal dengan perannya dalam pengajaran ajaran Buddha, vihara ini juga aktif dalam kegiatan sosial budaya di masyarakat sekitar.
Mahasiswa juga mengunjungi Rumah Abu Loe, sebuah rumah yang memiliki nilai sejarah tinggi bagi komunitas Tionghoa di Jakarta. Rumah ini berfungsi sebagai tempat peribadatan dan penghormatan kepada leluhur keluarga Loe.
Lokasinya yang berada di kawasan Glodok menjadikannya sebagai pusat kegiatan spiritual dan sosial bagi keluarga dan masyarakat Tionghoa. Meskipun sejarah pendirinya tidak banyak diketahui, Rumah Abu Loe tetap menjadi simbol penting dalam pelestarian budaya Tionghoa di Indonesia.
Selanjutnya, mahasiswa mengunjungi Vihara Dharma Bhakti, vihara tertua di Jakarta yang telah berdiri sejak 1650. Vihara ini tidak hanya menjadi pusat spiritual bagi komunitas Tionghoa, tetapi juga simbol identitas religius kawasan tersebut. Tradisi yang telah berlangsung selama ratusan tahun tetap terjaga di sini, memperkuat ikatan antara keimanan dan warisan budaya yang terus hidup.
Selain itu, mahasiswa juga mengunjungi Gereja Santa Maria de Fatima, yang memiliki keunikan arsitektur khas Tionghoa yang mengintegrasikan elemen-elemen Kristiani. Gereja ini menampilkan bagaimana komunitas Tionghoa di Glodok memeluk agama Katolik tanpa meninggalkan identitas budaya mereka. Salah satu ciri khas gereja ini adalah patung Tuhan Yesus yang dipesan khusus, dengan mata yang sedikit sipit, menggambarkan keselarasan antara agama dan budaya.
Vihara Dharma Jaya Toasebio
Perjalanan dilanjutkan ke Vihara Dharma Jaya Toasebio yang didirikan pada tahun 1983 oleh sembilan orang yang berperan dalam membangun vihara ini sebagai pusat kegiatan keagamaan umat Buddha di Jakarta. Vihara ini tidak hanya dikenal sebagai tempat ibadah, tetapi juga sebagai pusat perayaan Imlek dan berbagai kegiatan budaya Tionghoa. Vihara Toasebio menjadi simbol penting dalam pelestarian tradisi dan budaya Tionghoa di ibu kota.
Tungku Pembakaran
Di dalam vihara, mahasiswa juga diperkenalkan dengan berbagai ritual keagamaan, seperti penggunaan tungku pembakaran yang digunakan dalam tradisi Buddhis dan Taois. Tungku ini berfungsi untuk membakar persembahan, seperti kertas sembahyang dan dupa, yang melambangkan penghormatan kepada leluhur dan dewa-dewi. Kegiatan pembakaran ini dipercaya juga sebagai simbol penerangan jiwa dan penyucian energi negatif menjadi energi positif.
Kawasan Glodok Pancoran, Pusat Ekonomi dan Budaya
Kunjungan berlanjut ke kawasan Glodok Pancoran, yang merupakan pusat komersial dan denyut nadi ekonomi serta budaya di Pecinan. Di kawasan ini, mahasiswa dapat melihat interaksi antara tradisi dan modernitas, dengan gang-gang kecil yang dipenuhi kios-kios tradisional, apotek Cina, dan toko makanan khas Tionghoa. Kawasan ini mencerminkan bagaimana sejarah dan budaya Tionghoa tetap hidup di tengah perkembangan Jakarta yang pesat.
Pentingnya Melestarikan Warisan Budaya
Kegiatan ini tidak hanya memberikan wawasan tentang sejarah dan budaya Tionghoa di Jakarta, tetapi juga mengajarkan pentingnya menjaga dan melestarikan warisan budaya nenek moyang. Pecinan Glodok menjadi contoh nyata bagaimana sejarah, tradisi, dan modernitas dapat berjalan berdampingan, serta bagaimana keberagaman budaya dapat memperkaya kehidupan sosial masyarakat Indonesia.
Dengan kegiatan ini, mahasiswa Universitas Mercu Buana diharapkan dapat lebih memahami pentingnya sensitivitas kultural dan sikap saling menghargai antar budaya di Indonesia, sebagai bagian dari upaya menciptakan masyarakat yang lebih harmonis dan toleran.
Berita Terbaru Lainnya

Rabu, 16 Juli 2025


Rabu, 16 Juli 2025